Entri Populer

Rabu, 24 November 2010

PEMBERITAHUAN

Assalamu'alaikum...
Special notification...
Mulai saat ini, blog ini akan dinonaktifkan...
Sebagai penggantinya, dapat anda akses blog saya di ceritatanpakata.wordpress.com... Semua content yang ada di blog ini insya Allah akan saya pindahkan ke blog saya yang baru...
Terimakasih.

Kamis, 04 November 2010

Globalisasi Lintas Generasi

Ada banyak definisi mengenai globalisasi.Hal itu karena dalam merumuskan definisi globalisasi tersebut, setiap individu tergantung pada paradigmanya masing-masing.Tapi yang pasti, ketika seseorang membicarakan globalisasi maka akan sangat sulit untuk melepaskannya dari apa yang disebut sebagai Neo-Liberalisme.Neo-Liberal tidak lain aalah antitesa welfare state, antitesa neo-klasik, dan antitesa Keynesian.Sejarah Neo-Liberal dimulai pada tahun 1930-an dengan tokohnya Friedrich von Hayek (1899-1992) yang kemudian disebut sebagai Bapak Neo-Liberalisme.Kemudian,semenjak tahun 1970-an, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi salah satu kebijakan dan praktek negara-negara kapitalis maju.Salah satu penyebabnya adalah Neo-Liberalisme ini didukung oleh pilar-pilar badan ekonomi dunia seperti World Bank,IMF, dan WHO.
Globalisasi memiliki pengaruh yang sangat luas dalam berbagai aspek kehidupan,misalnya aspek politik, sosial budaya, ekonomi,dan pertahanan keamanan.Prof.Dr.Mubyarto-Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM- mengungkapkan bahwa ada dua definisi dari globalisasi.Pertama,globalisasi didefinisikan sebagai proses menyatunya pasar dunia menjadi satu pasar tunggal (borderless market).Kedua, globaliasi didefinisikan sebagai ‘obat kuat’ (prescription) yang menjadikan ekonomi akan lebih efisien dan lebih sehat menuju kemajuan masyarakat dunia.* Secara umum, globalisasi bisa dikatakan terbagi menjadi lima definisi luas yaitu internasionalisasi,liberalisasi,universalisasi,modernisasi atau westernisasi, dan deteritorialisasi atau terjadinya rekonfigurasi geografi.
Globalisasi memiliki dua sisi yakni sisi positif dan sisi negatifnya.Dengan adanya globalisasi, seseorang yang berada jauh di Amerika Serikat sana bisa dengan mudah berbicara dengan orang di Indonesia seolah tanpa dibatai oleh jarak.Arus informasi dapat menyebar ke semua bahan dunia dengan cepat.Kesempatan tiap individu untuk menjadi lebih maju semakin besar.Itu bila kita memandang globalisasi dari sisi positif.Globalisasi seolah bisa menghapus dimensi jarak dan waktu.
Tetapi di sisi lain globalisasi merupakan suatu marjinalisasi.Negara-negara berkembang hanya dijadikan alat untuk mengeruk keuntungan oleh negara-negara maju melalui kapitalisasi.Globalisasi justru semakin memperlebar kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang serta menaikkan angka kemiskinan di seluruh dunia.Globalisasi berpotensi mereduksi kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat.Generasi muda sekarang cenderung lebih suka mengkonsumsi produk-produk impor yang dianggap lebih bergengsi daripada menggunakan produk karya anak bangsa sendiri.Mereka menjadi terbiasa dengan fast food seperti Mc Donald, KFC,Pizza Hut, dan restoran sejenisnya.Inilah yang serimg kali disebut sebagai Black Globalization.
Lalu, bagaimanakah pengaruh globalisasi terhadap individu-individu lintas generasi,khususnya pada masyarakat Indonesia ? Misalnya saja antara seorang anak dengan orag tuanya atau kemudian dengan kakek neneknya.Dalam banyak kasus, sebagian besar terjadi perbedaan dalam hal cara berfikir atau bersikap diantara mereka.Hal ini seringkali menimbulkan perbedaan prinsip-prinsip mendasar diantara mereka dalam memandang kehidupan.Perbedaan tersebut bila tidak ditangani secara bijaksana dapat merusak keharmonisan hubungan dalam suatu keluarga tersebut.
Pada generasi kakek nenek kita, mereka biasa memandang suatu hal selain dari sisi yang nampak juga dari sisi mitisnya.Mereka cenderung mengkait-kaitkan suatu peristiwa dengan takhayul atau mitos.Misalnya, ketika ada anggota keluarga yang meninggal mereka merasa wajib untuk mengadakan slametan agar arwah leluhur tersebut tenang di alam sana.Atau mungkin,ketika sawah selesai dipanen maka orang-orang tua di desa sering mengadakan upacara yang disebut wiwitan yang merupakan tanda rasa syuur mereka terhadap Dewi Kesuburan atau Dewi Sri.Mereka masih meyakini bahwa bila upacara tersebut tidak dilaksanakan, hasil panen mereka tidak akan lebih meningkat.Dalam hal ini,globalisasi belum begitu terlihat pengaruhnya bagi generasi mereka.
Hal itu mulai berbeda dengan generasi orangtua kita dimana cara berfikir mereka sudah tidak sekolot generasi sebelumnya.Mereka mulai berfikir dengan menggunakan banyak logika.Ketika suatu hal dianggap tidak banyak bermanfaat dan tidak rasional maka hal itu akan ditinggalkan.Hal-hal yang bersifat mitis juga mulai ditinggalkan.Dalam beberapa hal mungkin ini dianggap merugikan karena dapat mereduksi nilai-nilai budaya yang ada.Namun, di sisi lain keterbukaan mereka terhadap arus informasi telah membuka kesempatan mereka untuk maju.Lapangan pekerjaan lebih terbuka tidak hanya dalam bidang pertanian seperti dahulu tetapi kemudian muncul bisnis lain seperti MLM (Multi Level Marketing).Pengaruh globalisasi membuat cara berfikir mereka dalam memandang suatu persoalan menjadi lebih luas.
Pada tahap generasi kita, rasa-rasanya arus informasi sudah tidak terbendung lagi.Setiap saat orang bisa mengetahui peristiwa di belahan dunia lain melalui internet.Situs-situs pertemanan seperti Friendster,Facebook, MySpace atau pun Twitter seolah sudah menjadi bagian dari keseharian kita.Itulah letak kekuatan globalisasi dimana segala sesuatu yang dulu mungkin dianggap tidak mungkin kini menjadi mungkin.Orang-orang telah terbiasa untuk mengkonsumsi fast food, meniru gaya hidup dan cara berpakaian ala Barat.Hal ini sebenarnya cukup mengkhawatirkan.Kita telah menjadi jauh lebih bebas dan terbuka terhadap segala hal daripada generasi orangtua kita.Bahkan, kadang-kadang cara berfikir kita menjadi terlalu pragmatis dan materialistik. Meskipun mungkin ada juga yang memanfaatkan kemudahan teknologi untuk edukasi seperti belajar jarak jauh dari suatu universitas di luar negeri misalnya.Tapi,bila hal-hal negatif tersebut tidak segera disikapi, dikhawatirkan generasi muda akan kehilangan jati diri mereka sebagai bangsa Indonesia.
Bila pada masa sekarang saja pengaruh globalisasi sudah sedemikian dahsyatnya,kira-kira apa yang akan terjadi dengan generasi setelah kita ? Lagi-lagi itu kembali pada tiap individu masing-masing.Mereka bisa menjadi lebih baik atau justru menjadi lebih buruk tergantung pada kemampuan mereka untuk menyeleksi dampak globalisasi yang masuk.Yang terpenting adalah bisa mengelola dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut, memilah mana yang baik dan mana yang buruk.Oleh karena itu,generasi muda perlu dibekali dengan kesehatan jasmani dan rohani yang kuat, kecerdasan intelektual yang tinggi, kecerdasan emosional yang matang, kecerdasan sosial yang baik serta kecerdasan spiritual yang tangguh agar mereka mampu menghadapi arus globalisasi yang melanda di tengah persaingan dunia yang semakin ketat.

*Mubyarto,Prof.Dr.,http://www.google.com/globalisasi

Ini adalah salah satu esai saya waktu daftar BPPM Balairung UGM... Smoga berguna...

Senin, 01 November 2010

Bintang Ke Delapan




Ketika diri mulai mempertanyakan eksistensi, ketika kau merasa kehilangan arti, ketika semesta tak lagi mengakui, masihkah perlu kau yakin akan esensi dirimu sendiri ?
Tapi benarkah lari dan mengingkari adalah sebuah solusi ?


Jalanan basah oleh gerimis yang turun tiada henti sejak siang. Lelaki itu menengadahkan tangan, menangkap air hujan yang jatuh dari atap gardu. Ia tatap lama-lama rintik air hujan itu, jatuh pelan satu-satu dan mengalir ke jalanan. Ada rasa damai yang tak terbantahkan. Hening. Hamparan sawah di kiri kanannya namun tak satupun katak menyanyi sore itu. Alam membisu dan jalanan lengang. Hanya suara gerimis yang mengisi semesta.
Lelaki itu tiba-tiba teringat pada adiknya, gadis kecil dengan senyum manis dan mata jenaka itu kini tengah menjalani masa-masa sulit dalam hidupnya. Ia pun seharusnya ada di sana sekarang, andai tak terjebak hujan gerimis tiada henti ini, menemaninya meski sekedar dari balik kaca ruang operasi. Mungkin orang lain bisa saja menerobos gerimis ini, toh hanya gerimis. Namun ia tidak bisa. Ia terlampau takut pada panah-panah perak dewata yang mengguyur bumi tiada henti ini.
Sejak kecil, ia selalu takut ketika hujan turun. Ia memiliki phobia pada hujan, ombrophobia. Ketika teman-temannya justru bersuka cita dan berlarian kian kemari di tengah halaman saat hujan turun, ia akan bersembunyi di dalam rumah sembari menatap mereka dari balik jendela.
Menyebalkan !, pikir lelaki itu seraya menendang sekeping pecahan genting yang terserak di sana tanpa sadar.
Aauwww !!!
Lelaki itu terkejut. Ia mencari- cari sumber suara jeritan itu.
Lalu dilihatnya seorang anak kecil basah kuyup di samping gardu. Anak perempuan itu mengusap-usap kepalanya. Lelaki itu merasa aneh, jangan-jangan anak ini sudah ada di sini sejak hujan tadi tapi ia tidak melihat, pikirnya.
“Kamu tidak apa-apa ? Maaf ya, kepala kamu sakit ? Kenapa ada disini, sudah dari tadi ?” Lelaki itu bertanya bertubi-tubi. Tapi anak itu diam, ia bahkan tak menoleh padanya. Ia masih tetap berlutut memeluk kakinya tanpa menghiraukan badannya yang telah basah kuyup. Lelaki itu terus mencoba bertanya namun bocah kecil itu seolah tak mendengar apa-apa.
Hujan gerimis mulai reda. Sekali lagi ditatapnya anak kecil itu. Ia tahu ia harus pergi, tapi tak mungkin ia tega meninggalkannya sendiri. Bocah itu pun masih membisu, membuatnya semakin serba salah. Ia sudah bertekad untuk meninggalkan gadis itu sendirian ketika dari ujung jalan muncul seorang perempuan muda yang tampak kebingungan mencari seseorang.
“Bunga... Bunga...,” teriak perempuan itu. Ia tatap anak kecil itu, yang tak disangkanya ternyata merespons panggilan itu.
“Jadi kamu Bunga ? Oh, kenapa tidak bilang dari tadi ? Lihat siapa yang mencari kamu. “, kata lelaki itu agak kesal.
“Woiii... Siapa yang mencari Bunga ?! Bunga disini ! Disini ada Bunga ! “ teriaknya keras-keras.
Demi mendengar teriakan yang sangat keras itu, perempuan itu pun setengah berlari menghampirinya.
“Bunga ? Ya Allah, kenapa Bunga hujan-hujanan disini ? Ayo pulang... “ ucap perempuan itu setelah berada di samping Bunga. Sebentar ditatapnya lelaki itu, mengapa dia biarkan saja seorang anak kecil kehujanan di sampingnya, tanya perempuan itu dalam hati.
“Maaf, saya tadi tidak tahu kalau ada dia di sini,” terang lelaki itu seolah mengerti maksud tatapannya.
“Ya, terima kasih sudah membantu saya memberitahu kalau Bunga ada di sini, Saya tadi sudah kebingungan mencarinya, sejak tadi siang dia kabur dari panti. Bunga memang...”
Tiba-tiba handphone di saku lelaki itu bergetar.
“Maaf, sebentar...”, ucapnya seraya menjauh. Perempuan itu agak kesal ceritanya terpotong begitu saja. Tapi dengan cepat perhatiannya kembali teralih pada Bunga yang masih diam seribu bahasa.
Lelaki itu terus berbicara di handphonenya sementara perempuan itu berusaha membujuk Bunga untuk pulang. Sekali-kali perempuan itu melemparkan pandangan pada lelaki yang sekarang tampak terkejut itu.
”Maaf, saya harus pergi sekarang,” ucap lelaki itu langsung ketika menghampirinya lagi. Mukanya tampak sangat pucat.
”Ada apa ? Ada masalah, barangkali saya bisa membantu,” perempuan itu buru-buru berdiri.
”Tidak, tidak apa-apa...hanya... Asa...Asa...Adik saya meninggal. ”
Lelaki itu tampak goyah. Matanya nanar dan kalut.
”Innalillahi wa inailaihi rojiun. Oh, saya minta maaf, saya ikut berbela sungkawa atas kematian adik anda. Terima kasih telah menolong Bunga, maaf kalau kami merepotkan anda pada situasi yang tidak tepat ini.”
Lelaki itu mengangguk. ”Saya harus pergi sekarang,” katanya seraya menghampiri sepeda motornya yang basah. Perempuan itu mengangguk, tapi ia merasa ada sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Haruskah ia bertanya ? Tapi...
Suara mesin motor mulai dinyalakan. Perempuan itu kembali bimbang.
”Maaf, boleh saya tahu nama anda ?” tanyanya tepat ketika motor hendak melaju. Tiba- tiba suara mesin sepeda motor mati, entah karena lelaki itu kaget atau apa.
“Zilfana”, ucap perempuan itu cepat.
“Rizal... Tito Rizal...” Lelaki itu tersenyum dan kembali menyalakan mesin sepeda motornya yang sempat mati.
Mesin menderu dan motor melaju, sementara perempuan itu masih terdiam. Akhirnya..., pikir perempuan itu seraya tersenyum lega.
”Ayo Bunga, kita pulang...,” ucapnya riang pada anak kecil yang masih duduk terdiam itu.
****
Seminggu berlalu sejak kematian Asa. Rizal masih menyelimuti dirinya dalam duka yang tiada akhir.Sejak kecil, Asa telah memiliki kelainan pada livernya. Rizal terkadang merasa, adiknya inilah harapan dalam hidupnya. Setelah kedua orang tuanya meninggal dalam serangan bom di hotel J W Marriot tahun 2004 silam. Sejak itu ia hidup bersama dengan kedua orangtua dari ayahnya. Tapi kini lagi-lagi Asa pun diambil oleh Sang Khalik. Dimanakah salahku, ya Allah ? Rizal tahu ia harus bangkit, tapi apakah salah kalau ia berduka ? Bukankah Asa adiknya ?
****
Tak sengaja siang itu Rizal kembali melewati gardu kecil tempat ia bertemu dengan Bunga tempo hari. Setiap kali mengingat anak kecil itu, ia merasa sedikit heran. Pasalnya, anak itu tak sekalipun bicara meski berkali-kali dia bertanya. Bahkan juga hingga ia pergi, tak didengarnya anak kecil itu bersuara. Anak kecil sepenakut apapun pasti juga akan bersuara atau setidaknya menjawab beberapa pertanyaanku kan?, pikirnya dalam hati. Atau mungkin menangis lah, tapi setidaknya bersuara.
Maka, tatkala dilihatnya kembali bocah kecil itu termenung di pematang sawah hari itu, rasa penasaran terus mendorongnya untuk berhenti dan menyapa bocah itu lagi.
”Halo, Bunga... ”, sapa Rizal ramah.
Tak ada suara.
”Bunga masih ingat sama kakak tidak ?
Tidak ada respon.
”Ini kakak yang kemarin pernah ketemu Bunga di gardu. Ini Kak Rizal. Bunga lihat apa di sini ?
Hening.
”Bunga sama siapa ? Bunga kabur dari kakak yang kemarin itu lagi ya ?
Diam. Dan Rizal makin penasaran.
”Bunga tidak kasihan ya kalau kakak itu mencari Bunga lagi ? Kakak siapa namanya ?
”Zilfana”
Rizal terkejut, kali ini didengarnya suara. Namun bukan berasal dari bocah kecil
di sampingnya itu melainkan dari belakangnya. Refleks ia menoleh ke belakang. Dilihatnya Zilfana telah berdiri di belakangnya sambil tersenyum-senyum.
”Oh, maaf...maaf... Saya kira Bunga tadi sendiri di sini.”, ucap Rizal seraya tersenyum-senyum dan salah tingkah.
Zie menatapnya tanpa berkata apa-apa dan segera mengalihkan perhatiannya pada Bunga.
”Bunga pulang sekarang ya ? Ayo, Bunga cantik !”, ucapnya seraya menggandeng tangan Bunga.
”Saya...saya boleh ikut ? Ikut Bunga ?”, tanya Rizal tidak jelas. Oh Tuhan, bagaimana aku ini ?? Tapi tak dinyana perempuan itu mengangguk juga.
****
“Bunga adalah seorang tunagrahita,” ucap Zie sesampainya mereka di panti ketika Rizal menanyakan mengapa Bunga sepertinya terlihat ‘berbeda’.
Rizal menatap Zie lama. Tunagrahita, maksudnya ? Ia acapkali mendengar kata itu, namun tak pernah kata itu sedemikian mengena di hatinya seperti saat ini.
”Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Dia memiliki kesulitan dalam adaptive behavior atau penyesuaian perilaku. Perkembangan mentalnya jauh di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi maupun sosial.”
“Apakah itu artinya dia autis ?”
“Tidak, tunagrahita berbeda dengan autis,” ralat Zie cepat. “Sepintas, anak-anak autis dan tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi, tetapi dalam perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas membahasakan sesuatu.”
”Bunga masih bisa sembuh ?”
”Sembuh ? Mungkin kalau sembuh tidak, tapi kita bisa membantunya. Bunga tergolong ke dalam anak tunagrahita ringan, IQ-nya 50. Tunagrahita dengan...”
”50?!”, potong Rizal tiba-tiba hingga Zie pun hampir terlonjak.
”Kenapa ?”
”Oh, tidak...tidak apa-apa. Maaf, saya tidak bermaksud begitu,” kata Rizal buru-buru menyadari kesalahannya. Sebelumnya Rizal hanya tahu itu dari buku-buku Biologi, ternyata benar-benar ada ya ? Astagfirullah...
****
Sejak ia tahu apa yang terjadi pada Bunga, Rizal justru menemukan kembali sesuatu yang hilang dari hidupnya. Setiap sore ia lewatkan harinya di panti itu, menemani Bunga duduk di taman belakang panti sembari melihat Zie... Setidaknya kini ia bisa merasa kembali berarti.
“Bunga tahu Pleiades ?”, tanya Rizal malam itu ketika mereka tengah menatap bintang di taman. Gadis kecil itu menggeleng.
‘Bintang… Bunga tahu, bintang itu tak lebih dari kilau yang bertaburan sampai kita yang memberi makna atas keberadaannya.”
“Pleiades adalah sekumpulan bintang yang terdiri sekitar 2000 bintang di rasi Taurus, kira-kira berjarak 415 tahun cahaya. Dengan mata telanjang, dapat terlihat 6 atau 7 bintang. Karena itu, nama populer Pleiades adalah si tujuh bersaudara atau The Seven Sisters. Pleiades masih relatif muda, seperti Bunga...hehe... Yang termuda di antaranya terbentuk dalam beberapa juta tahun yang lalu.” papar Rizal panjang lebar tak peduli Bunga akan mengerti atau tidak.
“Kalau begitu Bunga bintang kedelapan,” ucap Bunga polos. Gadis kecil itu berkata dengan bunyi ‘ng’ yang tidak sempurna.
“Mengapa bintang kedelapan ?”, tanya Rizal kaget.
“Aku bintang ke delapan yang tersingkir dari rasi Pleiades…”
“Tidak ! Bunga tidak pernah tersingkir…Bunga adalah bintang juga. Seperti yang kakak bilang, bintang pun hanyalah sekedar kilau tak bermakna sampai kita yang memberi makna akan keberadaannya. Begitu pula dengan Bunga, ketika orang lain tidak bias memberi arti akan kehadiran Bunga, Bunga lah yang harus memberi arti akan diri Bunga sendiri… “
Bocah kecil itu membisu. Rizal mengalihkan pandangannya.
“Sudahlah… Oh ya, Bunga pengen belajar biola ? Adik kakak dulu pintar bermain biola. Bunga mau belajar bermain biola ?”
“Kakak akan mengajarkan kamu bagaimana bermain piano.”
“Apa Bunga akan bisa ?”
“Pasti, Bunga bisa.”
Sejak saat itu, setiap sore Rizal membawanya ke taman di belakang panti dan mengajarnya bermain biola.
****

Ribuan bintang bertebaran di antara gelapnya langit malam. Rizal menatap anak kecil itu sambil tersenyum perlahan. Bunga tampak begitu larut dalam keindahan langit malam hingga tak menyadari kehadirannya. Sejak sebulan yang lalu, ia pergi KKN hingga praktis ia tak pernah bertemu lagi dengan Bunga. Namun tiba-tiba dua hari yang lalu, Zie meneleponnya. Bunga sudah bisa bermain biola dan ia ingin menunjukkannya padamu, kata Zie waktu itu.
“Bunga…”, sapa Rizal lirih. Gadis kecil itu sejenak melepaskan pandangannya dari pekat langit malam.
“Kak Zie bilang Bunga mau main biola buat kakak.”
“Bunga sudah bisa main lagu yang kakak ajarkan dulu.”
Biola itu terus mengalun meggemakan lagu Bintang Kecil. Sementara langit di atas sana tiba-tiba berpendar. Ribuan bintang jatuh bertaburan.
“Bintang jatuh, Bunga… Lihat ada hujan meteor…” seru Rizal tak sanggup menutupi kekagumannya.
Suara gesekan biola terhenti, Bunga menatap ke atas tanpa berkedip sedikitpun.
“Hujan meteor Orionid ! 21-22 Oktober…” seru Rizal lagi.
Gempita di taman itu mau tak mau mengundang perhatian Zie di dalam panti. Ia sibak tirai jendela. Perempuan itu terpukau menatapnya. Namun tanpa sengaja Rizal menatapnya, Rizal menatap Bunga, Zie dan gemerlap hujan meteor itu berganti-ganti. Inilah yang kunanti…
Aku hanya mencari arti akan hidupku...
Special thanks to Tito Rizal Prabowo, Zilfana Izzatul Lailiyah, Asa Gupita Lizadi...